Monday 21 January 2008

Kita harus Kerja Keras...

Dulu ketika saya harus membuang sampah sendiri ke tempat transit sebelum dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir), saya sering kali harus mendekat ke tumpukan sampah untuk membuang barang-barang limbah keluarga. Tidak jarang pada saat yang sama, beberapa orang juga berada di dekat tumpukan tersebut. Mereka bukanlah orang yang sama-sama hendak membuang sampah, tetapi mereka memunguti beberapa sampah tertentu. Orang-orang berbaju kumal itu adalah mereka yang berprofesi sebagai pengumpul barang bekas atau sampah yang kemudian mereka jual ke pengumpul. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang hebat. Saya sendiri saja sering merasa mual ketika berada di dekat sampah-sampah itu. Bau busuk bercampur dengan berbagai aroma yang tidak lainnya menciptakan bau yang benar-benar menusuk hidup dan memualkan perut. Saya sendiri harus segera menyingkir agar tidak terlanjur pingsan. Para pemungut sampah itu dengan santai memilih-milih barang yang mungkin dapat mereka jual. Tanpa menutup mulut dan hidung, mereka mengaduk-aduk tumpukan sampah dengan santai. Mereka melakukan pekerjaan itu dengan nyaman karena sudah biasa. Tidak ada lagi rasa jijik. Mereka tidak lagi terganggu oleh bau yang tidak enak. Para pemungut sampah itu melakoni profesi mereka karena itulah yang dapat mereka lakukan untuk menyambung hidup.

Bagi kita yang dapat kerja di kantor ber-AC dan di tempat yang sangat nyaman, kondisi mereka seharusnya menjadi refleksi kita. Kita mungkin tidak melaksanakan pekerjaan kita dengan optimal. Kita yang kerja nyaman sering tidak produktif. Keadaan yang enak, sejuk dan membahagiakan seharusnya mendorong kita untuk melaksanakan tugas-tugas kita sebaik-baiknya. Kita harus produktif.Semuanya itu adalah wujud ucapkan syukur kita ketika masih diberi kesempatan untuk bekerja di tempat yang bagaikan surga dibandingkan lokasi berkarya para pemungut sampah...Selamat berkarya selalu bagi kita semua...

Wednesday 2 January 2008

Apa kata dunia?????

Saya pribadi sering mencoba berperilaku yang pro-lingkungan dengan melakukan hal-hal yang kecil dulu saja, contohnya menggunakan "tas kresek" bekas untuk membawa barang belanjaan baru. Saya kadang pergi ke toko atau supermarket atau warung dengan membawa tas plastik yang telah ada di rumah, dengan harapan mereka tidak mengeluarkan tas plastik baru untuk saya bawa pulang. Harapan saya adalah saya dapat ikut mengurangi konsumsi tas plastik yang akan mengurangi limbah plastik. Tetapi niat itu sulit dilakukan karena mereka sering tidak memahami keinginan saya itu. Mereka kadang memperlihatkan tampang heran ketika saya meminta mereka untuk menggunakan tas kresek bekas. Beberapa di antaranya justru tetap memaksa memasukkan barang yang saya beli ke dalam tas yang baru. Mereka mengatakan "ngga apa-apa kok, pake tas ini saja", sambil memasukkan barang-barang ke tas kresek. Contoh itu menunjukkan bahwa upaya untuk berbuat pro-lingkungan masih mempunyai tantangan dari masyarakat kita. Upaya menghindari limbah justru ditanggapi aneh oleh saudara-saudara kita sebangsa. Orang yang mencoba ikut berperan serta mencintai lingkungan hidup masih dianggap aneh.....Bagaimana ini? Apa kata duniaaaa???????????

Monday 17 December 2007

Hukumlah Mereka yang Menyalahgunakan Anak

Di beberapa perempatan jalan yang saya lewati, saya sering menemukan ibu-ibu mengemis sambil menggendong anak berumur di bawah lima tahun (balita). Sudah bukan rahasia lagi bahwa mereka menggunakan anak-anak itu sebagai "daya tarik" belas kasihan agar mereka memperoleh uang lebih banyak. Beberapa waktu lalu di sebuah TV swasta, kisah sewa-menyewa anak dibeberkan. Menyewa anak untuk mengemis tampaknya sudah menjadi aktivitas yang wajar.

Hubungan mutualisme antara si penyewa dan yang menyewakan tampaknya telah menjadi ikatan yang menjerumuskan sebagian kecil anak-anak Indonesia ke dalam suatu keadaaan yang menyebabkan mereka tidak dapat menikmati masa kecil yang indah. Ibu pemilik anak (yang menyewakan) mendapatkan uang sewa, sedangkan si penyewa mendapatkan "rejeki" lebih berkat adanya anak-anak kecil di gendongannya. Sementara si anak hanya bisa pasrah dalam gendongan sang pengemis. Mereka harus menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan di jalan, kepanasan terkena sinar matahari terutama di tengah hari dan basah kuyup saat hujan menimpa tubuh mungil mereka. Tampang murung sering kita jumpai di wajah mereka. Kalaupun mereka tertidur, adakah kenikmatan yang mereka rasakan karena situasi yang jauh dari kenyamanan. Kita juga tidak bisa menjamin bahwa anak-anak itu diperlakukan baik oleh sang penggunanya.

Sudah saatnya, pemerintah bertindak tegas untuk melarang penyalahgunaan anak tersebut. Peraturan harus diciptakan untuk menghukum siapa saja yang menggunakan anak untuk mengemis. Semuanya itu dilakukan untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia yang akan menjadi generasi penerus bangsa ini.

Wednesday 5 December 2007

Semua harus ada yang memperhatikan

Kita sebagai manusia hidup di dunia ini bersama belasan, puluhan, ratusan, ribuan bahkan sampai miliaran sesama kita yang berada di dekat sampai yang berjarak ribuan mil dari kita. Banyak di antara mereka kurang beruntung dibandingkan kita yang masih bisa memuaskan semangat untuk menulis di blog. Kemiskinan, keterpinggiran, penderitaan akibat beberapa penyakit, keterbelakangan, hidup dalam kebodohan dan sebagainya masih lekat dengan kehidupan mereka dari hari ke hari, menit ke menit dan detik ke detik.....Bagaimana sikap kita yang dapat hidup lebih nyaman? Akankah kita diam saja. Banyak yang dapat kita lakukan. Beramal bisa dilakukan ketika kita mampu secara material. Mengulurkan tangan untuk bekerja sama dengan mereka memperbaiki hidup saat kita memiliki waktu, tenaga dan pikiran. Berdiskusi bersama memecahkan masalah sosial dan ekonomi pun bisa kita lakukan karena kita masih mempunyai pikiran, kreativitas dan kepedulian di hati kita. Marilah kita mencoba yang bisa kita lakukan. Di forum diskusi ini, kita bisa menyalurkan "bantuan" kita melalui olah logika, uji kreativitas dan pengungkapan perasaan hati untuk menciptakan pikiran-pikiran yang dapat disumbangkan. Bukan tidak mungkin hasil-hasil diskusi ini dapat dimanifestasikan ke dalam tindakan nyata baik oleh kita sendiri maupun orang lain yang mau menggunakannya.

Tuesday 4 December 2007

Sudahkah Beramal di Jalan ada di Jalan yang Benar?

Fenomena maraknya aktivitas pengamen, pengemis, pengasong dan orang-orang yang mencari uang di jalanan adalah realita yang tidak dapat dipungkiri semakin meningkat di Yogyakarta. Semakin banyak manusia-manusia dari berbagai tingkat umur dan jenis kelamin menggantungkan nasibnya di perempatan-perempatan berlampu lalu lintas. Mereka memanfaatkan saat menunggu lampu merah untuk mendekati para pengguna jalan mengharapkan uluran uang kecil sebagai “balas jasa” atas pekerjaan mereka atau bahkan sebagai wujud rasa belas kasihan.
Salah satu modus operandi yang dilakukan pengemis adalah dengan membawa anak kecil untuk lebih memperkaya nuansa melas yang ujung-ujungnya adalah meningkatnya rasa belas kasihan para pengguna jalan. Maka, kita tidak jarang melihat ibu-ibu menggendong bayi dengan selendang mendekati mobil-mobil yang berhenti. Anak-anak kecil atau bahkan bayi-bayi itu tampak dekil, berkulit hitam dan beberapa di antaranya memakai pakaian luthuk. Anak di bawah lima tahun (balita) pun selalu terekspos oleh sinar matahari yang terik, air ketika hujan atau gerimis dan semburan asap hasil polusi kendaraan bermotor ketika para pengemis menjalankan profesinya.
Kita mungkin bisa membayangkan bahwa mereka kelak ketika dewasa menjadi anak atau orang yang kotor dan bahkan tidak sehat. Secara mental, mereka juga telah kehilangan masa-masa kanak tanpa aktivitas bermain dan belajar. Anak-anak itu pun akhirnya hanya mendapat pelajaran bahwa mengemis dapat mendatangkan pendapatan. Inilah wajah sebagian kecil generasi muda kita yang kelak akan mungkin akan kehilangan masa depan nan cerah.
Maraknya ibu pengemis yang mengeksploitasi anak atau bayi untuk menambah rasa belas kasihan itu juga merupakan kesalahan kita semua. Mereka tetap melakukan aktivitasnya karena terbukti dapat mendatangkan penghasilan dan keberadaan anak atau bayi di gendongan telah meningkatkan pendapatan mereka. Kegiatan mereka akan surut jika benar-benar terbukti bahwa menggendong anak-anak balita tidak memberikan manfaat.
Salah satu upaya menyalurkan kepedulian terhadap anak-anak yang tidak beruntung tersebut adalah dengan tidak memberikan uang kepada para pengemis. Dalam jangka pendek, memberi uang memang akan menolong mereka menjalani kehidupan tiap hari. Uang yang kita berikan akan menambah penghasilan mereka sehingga kemampuan untuk membiayai hidup lebih besar. Dalam jangka panjang, kita memberikan kesempatan kepada para pengemis untuk terus melakukan aktivitasnya karena mereka merasakan bahwa keberadaan anak atau bayi telah meningkatkan “kesejahteraan”. Mereka pun akan terus berada di jalanan dengan mungkin anak balita yang berbeda-beda. Bukankah isu tentang sewa-menyewa anak untuk mengemis adalah hal yang sudah diterima umum?
Dampak jangka panjang yang tidak baik bagi anak seharusnya menyadarkan kita untuk sedikit mengerem pemberian uang kepada pengemis. Beramal adalah perbuatan yang mulia dan semua agama pun mengamininya, tetapi apakah kegiatan itu tetap dilakukan ketika amal baik kita justru menjerumuskan orang-orang yang justru akan mengorbankan masa kecil generasi muda hanya untuk kepentingan sesaat? Sudahkah amal kita di jalan adalah jalan yang benar untuk membantu sesama?

Kita harus peduli

Di luar sana, di dunia nyata, banyak sesama kita masih memiliki masalah-masalah sosial ekonomi. Mereka masih terpinggirkan, menderita kemiskinan, hidup di bawah standar kesejahteraan minimum dan lain sebagainya. Kita yang masih bisa bersyukur karena memiliki keadaan yang lebih baik dan beruntung haruslah mempunyai tanggung jawab untuk memperhatikan mereka. Uluran tangan langsung dapat kita lakukan jika kita mempunyai sumber daya yang memadai. Tetapi jika kita tidak mempunyai itu semua, itu bukan berarti kita tidak bisa membantu. Kita masih punya pikiran terbuka untuk ikut berdiskusi tentang langkah-langkah untuk memperbaiki keadaan. Mungkin sekarang kita baru bisa berdiskusi. Di masa depan, kita mungkin dapat mewujudkan hasil diskusi kita. Mari kita berdiskusi.